Sebuah Selentingan kata dari Kementerian Hukum dan Ham , Bahwasanya penegakan hukum dan Ham jangan tajam kebawah tumpul keatas, tetapi pada kenyataannya berbanding terbalik dengan fenomena pada pembahasan kasus ini, Bahwasanya Sebuah penindaasan hak asasi manusia sebagian kecil dari bangsa indonesia terjadi.
Teluk Buyat yang berada di Minahasa, Sulawesi Utara adalah lokasi pembuangan limbah tailing atau lumpur sisa tambang ,pada tanggal november 1986 PT Newmont Minahasa Raya (NMR) dan Pemerintah Indonesia menandatangani kontrak karya konsensi pertambangan emas selama 30 tahun .
Kelompok-kelompok sipil menuduh bahwa Newmont telah membuang 5,5 juta ton merkuri dan arsenik-sarat limbah keteluk selama 8 tahun masa operasinya. Newmont telah membantah tuduhan tetapi mengakui melepaskan 17 ton limbah merkuri ke udara dan 16 ton ke dalam air selama lima tahun, jumlah yang dikatakan jauh di bawah standar emisi di Indonesia . Bahkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pun masyarakat teluk buyat tidak dilibatkan,hanya stakeholder yang dilibatkan pada pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Tersebut.
sebuah ketimpangan memang jika rakyat tidak tahu dan tidak dilibatkan Analksis Mengenai Dampak Lingkungan ketika diwilayah mereka sendiri yang akan berakibat fatal pada mereka. Sejumlah penyakit penyakit yang di alami masyarakat buyat , mulai dari gejala mual,pusing, lemah, sakit kepala, sakit dipersendian , pusing berat, dan gejala yang sangat memprihatinkan adalah tanda benjolan yang aneh di bagian tubuh. Penyakit itu diakibatkan oleh limbah partikel-partikel logam berat khususnya Arsen (As), merkuri (Hg), dan Sianida (Sn) yang mengakibatkan berbagai penyakit yang dialami masyarakat dewasa maupun anak , ibu mengandung yang telah keguguran maupun melahirkan anak yang cacat. Hal yang sama penyakit semacam itu telah ditemukan di daerah Minamata,Jepang.Seperti yang diketahui pembuangan limbah tersebut akan berakibat buruk pada kelangsungan hidup manusia , ekosistem laut dan lingkungan disekitar teluk buyat. Tetapi dengan segala penyimpangan mengenai kehidupan masyarakat dan lingkungan tidak ada tanggapan serius dari pemerintah setempat.
Dengan merebaknya dugaan penyakit yang sudah tercemar , Pemerintah seharusnya melakukan langkah untuk memberantas penyakit tersebut dengan cara melibatkan LSM dan instansi-instansi terkait untuk mencegah penyakit yang di alami warga teluk Buyat. Yang pertama Departemen Kesehatan harus menentukan jenis penyakit yang diderita oleh warga dan melakukan pengobatan dan bila perlu pencegahan. Tetapi selama ini warga buyat takut jika mengatakan mengalami penyakit karena ada menseat dikatakan penghianat ketika para elit akan menjanjikan warga buyat akan dipekerjakan di PT. NMR. Tapi sampai saat ini warga buyat mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Solusi yang kedua Pemerintah seharusnya membentuk tim untuk melakukan penyelidikan terpadu yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Tim ini beranggotakan instansi pemerintah terkait, pemerintah daerah, LSM, Mahasiswa atau perguruhan tinggi, dan pakar. Tim terpadu tingkat pusat akan bekerjasama dengan Tim Independen ditingkat Daerah.Hanya sedikit demi sedikit dilakuakan oleh instansi terkait solusi tersebut .Ketiga memberikan informasi kepada masyarakat secara terus menerus, keempat Penegakan hukum terhadap pihak yang melanggar.
Dari gambaran kasus diatas bahwa bencana bagi masyarakat Buyat maupun kegiatan yang dirasa menguntungkan para stakeholder kegiatan ini tidak digubris oleh pemerintah pusat maupun daerah, sambutan dingin dan tidak bersahabat cenderung tercipta antara para masyarakat (terhadap kegiatan tambang yang cenderung merampas hak hidup mereka.. Pemerintah hanya tergiur investasi skala besar akan lebih diperhatikan di negara ini dibandingkan dengan kesejahteraan masyarakatnya. Padahal, dalih meningkatkan kesejahteraan masyarakat selalu menjadi kata-kata pembuka bagi rangkaian pidato-pidato saat pemerintah mengajukan dirinya sebagai pemimpin ataupun industri skala besar yang akan beroperasi, urusan benar-benar masyarakat benar sejahtera atau tidak, dianggap urusan nomor dua, yang terpenting adalah menurut mereka adalah mensejahterakan urusan pribadi.
Karena urusan sejahtera atau tidak inilah yang menjadi problem di setiap negara yang menduduki suatu wilayah, dimana selalu saja masyarakatnya hidup di bawa garis kemiskinan, termasuk yang terjadi di daerah kita Teluk Buyat Sulawesi Utara. Akibat kegiatan pertambangan skala besar oleh PT. Newmont Minahasa Raya (NMR), kondisi masyarakat di sekitar Teluk Buyat yang mengantungkan hidupnya dari hasil laut dan harus bertahan hidup di wilayah tersebut karena tekanan kemiskinan harus menerima akibat dari pencemaran dan perusakan ekosistem Perairan Teluk Buyat.
Warga teluk buyat mengatakan ‘’Kita suku dan masyarakat yang diberikan kesempatan untuk lahir di bumi Sulawesi Utara (Sulut), tidak hanya dititipkan begitu saja, tetapi diberikan tanggungjawab untuk menjaga dan memelihara tanah dan sumberdaya alam lainnya di negeri ini, karena itu pula kita harus bijak memilih kegiatan apa saja yang boleh dan dapat dilaksanakan di negeri ini’’
Pencemaran Teluk Buyat adalah bentuk bencana ekologis yang merupakan suatu bukti tidak bertanggungjawabnya Pemerintah sebagai pemimpin melindungi bumi Sulut sebagai tempat tinggal dan hidup. Perusakan ekosistem laut akibat timbunan “tailing” yang mengandung logam-logam berat yang mengkontaminasi biota dan bahkan meracuni masyarakat sekitar yang bermukim di sekitar “point source” yang sangat mengantungkan hidupnya dari hasil laut perairan tersebut. Barangkali kontaminasi itupun telah tersebar di sebagian masyarakat Sulawesi Utara melalui ikan-ikan yang telah dikonsumsikan karena dampak pencemaran ini secara ekologi akan melintasi wilayah administrasi suatu wilayah.
tanda-tanda fenemena yang memprihatinkan ini , hampir ahli-ahli dari seluruh Indonesia bahkan luar negeri melalui pernyataan-pernyataan yang di up-load di media internet menyatakan paham bagaimana PT. NMR melakukan pencemaran, malahan penyelenggara pemerintahan dan sebagian dokter dan akademisi dari Sulut masih menyangsikan bahwa PT. NMR melakukan pencemaran. Sudah jelas-jelas ada masyarakat yang memiliki banyak benjolan di sekujur tubuhnya dan ikan karangpun demikian, masih saja kepala Bapedal Sulut mengatakan bahwa mereka bukan orang-orang asli dari dusun V Desa Buyat Pantai. Padahal sejak tahun 1999-2000 masyarakat Buyat sudah di pantau. Dan masih saja dikatakan itu adalah penyakit biasa menimpa masyarakat pesisir, padahal dimana-mana benjolan tidak ditemukan di masyarakat pesisir Pantai lainnya seperti di Teluk Jakarta, masyarakat Bajo sebagian masyarakat kota Manado yang tinggal di pesisir.
Jadi, jelas sekali PT NMR masih lebih diuntungkan dibandingkan dengan masyarakatnya sendiri, padahal dengan adanya atau tanpa perusahaan semacam ini kesejahteraan masyarakat Sulut tidak berubah atau tidak ada perubahan positif yang siknifikan.
Kasus Buyat, menjadi salah salah satu model pengelolaan lingkungan hidup yang harus mengorbankan masyarakat yang hidup di garis kemiskinan (yang terlihat) dan mengorbankan seluruh masyarakat Sulut sebetulnya (bencana ekologis) di masa datang. Inilah kenyataan yang mesti masyarakat Sulawesi utara hadapi, terpilihnya daerah kita sebagai lahan eksploitasi emas dan terpilihnya tanah kita sebagai ajang buang sampah beracun akibat kegiatan pengelolaan emas yang bakal mengancam keberadaan masyarakat Sulawesi utara dimasa datang. Tahap-tahap dalam pengelolaan lingkungan hidup masih tidak terlaksana dengan baik di bumi Sulawesi utara. Jika ada perencanaan, sering kali tidak didasari oleh hasil evaluasi dari kegiatan yang sudah berjalan. Pelaksanaan suatu kegiatan seringkali tidak sesuai dengan rencana, selalu disesuaikan dengan budget yang ada, dan seringkali kenyataannya biaya kegiatan yang dikeluarkan lebih kecil dari biaya yang sudah diajukan, dalihnya ada pemotongan dimana-mana korupsi?, yang sudah menjadi lazim dilaksanakan pabila berurusan dengan pemerintah. Demikian pula dengan pengawasan terhadap suatu kegiatan, apakah merusak lingkungan atau tidak, selalu juga terbentur pada biaya pengawasan atau lebih tepat sesuai saja dengan biaya pengawasan sehingga pengawasan hanya dilakukan sepanjang mata memandang. Padahal kegiatan pengawasan adalah kegiatan yang amat penting untuk tetap membuat rencana dan pelaksanaan konsisten dengan komitmen mensejahterakan masyarakat Sulut. Akhirnya, kegiatan evaluasi tidak dapat dilakukan dengan baik, padahal hasil evaluasi merupakan data yang akan dimasukkan (input) kembali pada suatu proses perencanaan. Tahap-tahap inilah dalam pengelolaan yang semestinya sangat diperhatikan tapi justru inilah tahap yang rawan dan seringkali terjadi manipulasi (data maupun uang).
Terlepas era kapan PT. NMR diijinkan untuk beroperasi di bumi Sulut, tetap saja saat kini yang menentukan apakah perlu dipertahankan atau ditutup sama sekali dan jika ada kegiatan yang serupa yang akan beroperasi di Sulut, tidak diperbolehkan sama sekali untuk membuang tailing di dasar laut. Perencanaan investasi di era Presiden Suharto, bukan tidak bisa dievaluasi di era Presiden Susilo Bambang Yodoyono kini, itulah yang disebut dengan evaluasi dalam suatu pengelolaan lingkungan hidup. Hasil evaluasi tersebut akan menjadi suatu perencanaan baru. Jika kegiatan tersebut hanya untuk menyengsarakan masyarakat Sulut saat ini dan di masa datang (10-20 tahun), lebih baik tidak diperbolehkan lagi berkegiatan di bumi Sulut dan tentunya harus melakukan kegiatan perbaikan (rehabilitasi) akibat pengrusakan yang telah dilakukan pada seluruh komponen alam dan manusia.(Jull Takaliuang, 2004, Perkembangan Kasus Buyat).